Kamis, 18 April 2013

Anggota DPR Akan Hapus UN Tahun Depan

Tags

Sejumlah Anggota Komisi X Bidang Pendidikan DPR Ahmad Zainuddin mengatakan, setiap tahun pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selalu bermasalah. Bahkan pelaksanaan tahun ini dia nilai amburadul, mulai dari proses persiapan hingga pelaksanaan terus bermasalah.

"Saya merekomendasikan ujian nasional dihapus. Kalau pemerintah bertahan, format ujian diganti," kata dia ketika dihubungi merdeka.com, Senin (15/4).

Zainuddin menjelaskan, kalau hanya sekedar ingin mengetahui kualitas pendidikan nasional, pemerintah tidak perlu melakukan UN. Pemerintah cukup membuat sampel ujian ke beberapa daerah.

Apabila Pemerintah tetap ingin melaksanakan UN, dia melanjutkan, format bisa diganti. Misalnya, menyerahkan pelaksanaan ujian kepada satuan kerja. Biarkan sekolah membuat soal karena mereka paling tahu kondisi anak didik mereka.

"Meski ada UNAS, toh nanti setelah lulus, ketika mau masuk perguruan tinggi juga dites lagi," terangnya.

Zainuddin mengimbuhkan, beberapa ujian di negara lain dilakukan oleh badan khusus (Exam Board). Ujian itu dilakukan pada masing-masing wilayah dan hasilnya sangat bagus, baik dari sisi pelaksanaan maupun hasil penilaiannya.

Model ini sudah dilakukan di Amerika maupun India. Ujian tidak dilakukan secara nasional karena dianggap tidak adil bagi siswa minoritas dan setiap negara bagian memiliki standar yang berbeda.

"Mereka melakukan ujian untuk wilayah masing-masing yang disebut exit exam. Dengan demikian dari tingkat kesiapan pelaksanaan ujian bagi siswa pun lebih baik", ucapnya.

Oleh sebab itu Zainuddin meminta agar pemerintah mau mengatur ulang sistem ujian nasional bagi siswa.

"Jumlah 33 provinsi yang ada saat ini tentu memiliki standar mutu yang berbeda, dan hal ini sangat dimungkinkan penerapan ujian dapat dilaksanakan pada tiap daerah. Adapun teknis pelaksananya dapat dilakukan oleh lembaga Independent yang dapat diawasi oleh pemerintah dan DPR", pungkasnya.

Kalau UN Dihapus, SD ke SMP Seperti Naik Kelas

Rencana penghapusan Ujian Nasional untuk jenjang sekolah dasar didukung oleh pandangan bahwa jenjang SD dan sekolah menengah pertama merupakan satu kesatuan wajib belajar 9 tahun. Menteri pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengatakan pandangan ini akhirnya memandang bahwa proses lulus dari kelas VI ke kelas VII layaknya kenaikan kelas saja.

"Lulusan SD masuk SMP itu menjadi kelas VII, jadi seperti kenaikan kelas sesama satu jenjang namanya jenjang pendidikan dasar. Mereka ada yang memiliki pemikiran UN di SD itu sebaiknya ditiadakan karena ini menjadi satu paket sesama pendidikan dasar," katanya di sela acara 'Pergelaran Anak Negeri' di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Sabtu (2/3/2013) malam.

Nuh mengatakan UN untuk jenjang SD baru bisa dievaluasi untuk penyelenggaraan tahun depan. Namun, pada tahun ini, UN tetap akan digelar. Pasalnya, evaluasi UN merupakan bagian dari penerapan Kurikulum 2013 yang baru akan dilakukan pada pertengahan Juli mendatang.

"UN 2013 besok tetap untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK seperti biasanya, hanya yang membedakan ada 20 variasi soal," tuturnya.

Menurut Nuh, UN tetap diperlukan untuk melihat hasil dari proses pendidikan yang telah dijalani. UN, lanjutnya, adalah output atau hasil sementara rapor adalah penilaian terhadap proses yang berlangsung sehari-hari.

Nuh pun menjelaskan bahwa saat ini, kementerian tidak ingin mempertentangkan hal yang lebih penting antara proses dan hasil. Kementerian, katanya, terus mencari cara untuk memperkuat dua basis penilaian tersebut.

Koalisi Guru Tuntut UN Dihapus

Karut-marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2013 tentu merisaukan berbagai pihak. Mulai dari tertukarnya soal, kekurangan soal, hingga yang terparah penundaan UN di 11 provinsi Indonesia bagian tengah.

Menanggapi berbagai kejadian tersebut, Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) sepakat meminta kepada Presiden untuk menghentikan UN.

"Kami menuntut Presiden segera memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tidak menyelenggarakan kembali UN di tahun depan. Ini adalah UN terakhir," ujar Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (16/4/2013).

Dia menilai, penyelenggaraan UN berbiaya tinggi tapi tidak mengukur kualitas pendidikan Indonesia yang sebenarnya. Selain itu, lanjutnya, kebijakan UN jelas ilegal dan tidak menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA).

Senada dengan Retno, Sekretaris Jenderal (Sekjen) FGII Iwan Hermawan menyatakan, UN pun harus dihapuskan. Dan untuk menghapus UN, katanya, Presiden harus mengamandemen Peraturan Pemerintah (PP) 19 Tahun 2005 Pasal 66 ayat 1 yang menjadi landasan Kemendikbud untuk menyelenggarakan UN.

"UN seperti penyakit kronis. Tiap tahun diobati tapi justru menimbulkan penyakit baru. Untuk menghapus UN, maka Presiden harus mengamandemen PP 19 thn 2005 pasal 66 ayat 1 yang meliputi penilaian hasil belajar berdasarkan UN yang menjadi landasan Kemendikbud," kata Iwan.

Sementara itu, anggota IGI Itje Choditjah menyatakan, pelaksanaan UN tanpa memperhatikan layanan pendidikan bertaraf nasional yang menjadi hak peserta didik sama saja kamuflase atas kegagalan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah harus memenuhi hak tersebut sebelum melakukan pengujian secara nasional melalui UN.

"Masalah yang penting adalah bagaimana Kemendikbud memberikan layanan pendidikan bertaraf nasional kepada peserta didik. Sementara yang harusnya menguji melalui UN adalah badan lain," ungkap Itje.

Biasakan sebelum berkomentar, bagikan link ke teman anda untuk membantu kami membuat artikel lainnya yang bermanfaat. Komentar yang kami balas hanya yang berguna dan bermanfaat.
Emoticon Emoticon